Papua.utusanindo.Com. Keerom,-Pilkada Kabupaten Keerom akan segera dilaksanakan. Berdasarkan jadwal Pilkada yang dikelurkan oleh KPU RI bahwa pada, Rabu, 09/12/2020 akan dilaksanakan pemilihan serentak di Indonesia.
Dari sekian banyak Kabupaten yang akan melaksanakan Pesta Demokrasi salah satunya adalah Kabupaten Keerom. Pilkada adalah moment untuk menentukan fingur pemimpin yang akan memimpin masyarkat Keerom untuk lima ( 5 ) ke depan. Para calon bupati-wakil bupati akan berkopetensi dalam pesta demokrasi ini. Dalam pesta demokrasi itu, yang menentukan pemimpin untuk 5 tahun kedepan adalah rakyat sendiri, bukan dari si calon dan partai pengusung. Demokrasi adalah sistem pemerintahan yang diselengarakan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat.
Menjelang pesta demokrasi dalam media masa terutama status di facebook mewarnai dengan seruan “pilihlah pemimpin berdasarkan “suara hati” jangan memilih pemimpin berdasarkan bujukan dari orang lain”. Kalimat ini saya membalikanya seperti ini “pililah pemimipin yang suara hatinya hidup bukan memilih pemimpin yang suara hatinya mati”. Suara hati dari pemimpin akan menentukan moralitas kepemimpinan dalam menjalani roda pemerintahan.
Apa itu suara hati? Suara hati berasal dari kata Latin, conscientia yang berarti “mengetahui bersama atau mengetahui dengan”. Secara tradisional suara hati dipahami dalam pengertian psikologi, yaitu “kesadaran” dan dalam pengertian moral yaitu “kesadaran tentang yang benar dan yang salah”. Dalam bahasa Yunani, syneidesis yang berarti “melakukan kebaikan dan menjauhi kejahatan” (Dennis J. Billy dan James F. Keating, 2009: 21). Suara hati seorang pemimpin di sini lebih mengarah kepada moral seorang pemimpin. Moral seorang pemimpin akan menentukan berjalannya sebuah pemerintahan. Pemimpin adalah seorang individu yang memimpin individu-individu lain. Sehingga seorang pemimpin memiliki sikap hidup yang bermartabat dan bermakna bagi sesama. Ia menjadi pribadi yang bermakna karena secara konsisten berjuang agar hidupnya memancarkan kebaikan bagi sesama yaitu bawahan atau rekan kerja dan masyarakat luas. Hidup bermakna (moralitas) selalu terkait dengan upaya mewujudkan bonum commune (kesejateraan bersama). Pemimpin yang bermoral buruk adalah pemimpin yang individualis dan egois. Bagi Eric Weil, pemimpin yang individualis dan egois adalah pemimpin yang tidak cerdas dan bijaksana (C.B. Mulyatno, 2012: 83). Sikap egois hanya mementingkan kepentingan sendiri (individual), dan kelompoknya dan mengabaikan kepentingan orang bayak. Sikap pemimpin yang egois dalam diri yang dominan adalah model pemimpin yang otoriter. Pemimpin yang otoriter, mata hatinya buta.
Mata hati adalah sebuah kiasan yang mengandung arti perasaan dalam hati. Melihat dengan mata hati artinya merasakan apa yang dirasakan oleh orang-orang disekitar kita. Mata hati yang buta artinya seolah-olah tidak merasakan apa yang dirasakan oleh orang-orang di sekitar kita. Bagi seorang pemimpin berarti kemampuan merasakan apa yang dirasakan atau dialami bawahan atau rakyat yang dipimpinnya. Atau seolah-olah tidak mersakan apa yang dirasakan atau dialami bawahan atau rakyat yang dipimpinnya (Herman Musakabe, 2009:103).
Dalam kehidupan bermasyarakat, apabila ada tetangga mengalami musibah maka kita diminta untuk solider menyatakan ikut belasungkawa atau tidak melakukan hal-hal yang dapat lebih melukai perasaan mereka yang terkena musibah. Di kalangan para pemimpin, ada yang memiliki kepekaan dan mampu menangkap aspirasi dan perasaan rakyat yang dipimpinnya, tetapi tidak sedikit juga pemimpin yang tidak mampu dan tidak mau melihat dengan mata hatinya sehingga kepemimpinannya tidak mengakar kebawah, bahkan membawa kesengsaraan dan malapetaka. Kepemimpinan sudah mulai bergeser dari amanah menjadi komoditas, dari kewajiban menjadi tuntutan hak yang berlebihan.
Sering cita-cita luhur atau idealisme seorang calon pemimpin berubah setelah ia menjadi pemimpin karena lebih mengejar kepentingan pribadi dan golongan atau mempertahankan kekuasaan selama mungkin ketimbang melaksanakan amanah kepemimpinan yaitu mensejaterahkan rakyatnya. Sehingga dalam kepemimpinan mulai terjadi praktek: Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN).
Ada beberapa fenomena dalam kepemimpinan dewasa ini yang mengisayaratkan sebagai pemimpin kita tidak memiliki lagi mata hati sebagai pemimpin yang baik.
Yang pertama, belum adanya penentua prioritas yang baik dalam membuat kebijakan atau program pembagunan dalam Kabupaten dengan mengutamakan ekonomi rakyat, misalnya membantu usaha kecil dan menegah atau mengangkat potensi daerah menjadi kekuatan ekonomi yang riil. Contoh lain, pendidikan misalnya menyekolahkan anak-anak Keerom dengan memberikan beasiswa ke perguruan-perguruan tinggi ternama di Indonesia demi untuk mempersiapkan Sumber Daya Manusia yang hadal.
Yang kedua, kepekaan terhadap apa yang dirasakan oleh masyarakat bawah akan berkurang atau hilang apabila para pemimpin lebih berorientasi ke atas daripada ke bawah serta pengaruh lingkungan orang-orang dekat yang biasanya menutup-nutupi kenyataan dan memberi laporan ABS (asal bapa senang).
Yang ketiga, mata hati seorang pemimpin dapat juga dipengaruhi oleh politik uang atau yang lazim dikenal sebagai money politik. Apabila seorang pemimpin mengawali tugasnya dengan politik uang maka dapat dipastikan selama masa kepemimpinannya, ia akan berangapan bahwa segalah sesuatu, termasuk mempertahankan kekuasaan, dapat dilakukan dengan politik uang.
Sesaat lagi pemilukada akan segera mulai. Masyarakat Keerom sudah mengetahui calon-calon pemimpin yang akan memimpin Keerom untuk 5 tahun kedepan. Mereka tidak asing lagi bagi masyarakat, karena mereka pernah menjadi pemimpin dan memimpin Keerom, entah itu sudah menjadi bupati maupun wakil bupati. Dari jejak-jejak kepemimpinan itu masyarakat sudah menilai model kepemimpinan mereka. Sejauh mana keberhasilan mereka dalam merencanakan, memprogramkan, mengorganisasi, dan melaksanakan program-progaram di Kab. Keerom.
Dalam menentukan pemimpin daerah aspek yang perlu dinilai adalah aspek suara hati, mata hati atau moral. Jangan memilih pemimpin yang bermasalah secara moral. Pemimpin yang bermasalah secara moral akan membawa penderitaan bagi rakyat yang dipimpin. Berikan suara kepada pemimpin yang visioner dan bermoral baik, sebab dialah yang akan menghapus derita dan tangisan air mata masyarakat Keerom. Dia akan membebsakan masyarakat dari, ketertinggalan, kemiskinan, penindasan, penderitaan dan kebodohan.
Salam demokrasi, Amanino.
Oleh : Fr. Soterius Pangguem
Penulis Adalah Mahasiswa S2 STFT FAJAR TIMUR.