Pilkada Keerom: Berkat Atau Laknat?

Papua.utusanindo.com. Keerom,-Pesta Demokrasi lima ( 5 ) tahunan, entah memilih presiden dan wakil presiden, DPR RI, DPD, DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten/Kota bahkan yang waktunya tersisa dua hari ini yakni Pemilihan Kepala Daerah Kabupaten Keerom bisa menjadi berkat, tetapi sebaliknya bisa menjadi kutuk atau malapetaka.

Mengapa demikian? Sebuah hajatan pesta demokrasi lima tahunan ini dikatakan menjadi berkat jika, pemimpin yang terpilih mampu memenuhi janji-janjinya yang disampaikan pada masa-masa kampanye. Janji dapat dianalogikan semacam hutang yang mesti dilunasi atau memenuhi konsensus agar kesejahteraan hidup orang-orang yang dijanjikan bisa mengalami transformasi secara evolutif ke arah yang lebih baik. Tujuan dari politik adalah kesejahteraan umum (bonum commune).

Pemilu juga dapat menjadi berkat apabila, pemimpin yang menang dalam pilkada mampu mendesain pemerintahan yang bersih, pemerintahan yang berlandaskan kearifan lokal dan menghargai adat dan budaya setempat. Pemerintah yang mencoba mengemas model pembangunan berwawasan modern tetapi tidak melindas budaya lokal. Pemerintahan yang selalu mengintegrasikan budaya lokal, mengakomodir anak-anak adat setempat agar masyarakat lokal tidak tergilas zaman dan teralienasi dari konteks budayanya sendiri. Pemerintahan mesti berbasis budaya.

Sebaliknya, pilkada Keerom akan berubah menjadi kutukan atau malapetaka apabila pemimpin yang terpilih mengangkangi rakyatnya. Pemimpin yang terpilih lupa akan janji-janji politiknya bahkan menjadi pemimpin otoriter dan diskriminatif. Pemerintahan yang dibangun sarat KKN. Anak adat terlantar di negeri sendiri bahkan hanya dianggap sebagai ban yang sudah aus dan tidak layak fungsi alias kadaluarsa. Pilkada Keerom akan berubah menjadi malapetaka apabila yang mengalami yang namanya sejahtera hanya keluarga pejabat atau tim-tim sukses. Lalu rakyat mau dibawa ke mana? Di mana posisi anak adat yang mesti mendapat perhatian penuh untuk diberdayakan agar bisa menjadi pemimpin di tanah sendiri.

Kita semua tahu bahwa yang bisa menentukan kita sejahtera atau keluar dari garis kemiskinan hanya kita sendiri. Dengan lain perkataan, hanya anak Keerom yang bisa memahami secara holistik seluk beluk, jati diri, karakter dan budaya anak adat Keerom. Kita tidak bisa meminta orang asing memimpin kita tanpa memahami adat dan tradisi kita. Pemerintahan yang hendak didesain, meskipun bercitarasa modern tetapi yang dilayani adalah manusia lokal yang unik yang mesti dipahami oleh pemimpinnya. Maka, pengambil kebijakan dalam hal ini Kepala Daerah, mestinya anak adat setempat.

Pilkada Keerom menyajikan 3 (tiga) paket atau pasang calon bupati dan wakil bupati. Ketiga pasangan ini boleh dikatakan pernah memimpin Keerom entah sebagai Bupati maupun Wakil meski dengan masa waktu atau limit waktu kepemimpinan yang berbeda. Bertolak dari lamanya masa kepemimpinan yang telah dilaksanakan, masyarakat Keerom tentunya bisa menilai secara kritis, manakah pemimpin Keerom yang sungguh-sungguh visioner mau membangun Keerom ke depan. Kita tidak mengharapkan pemimpin serigala berbulu domba. Kita juga tidak mengharapkan pemimpin yang bertipikal parasit. Mengejar takhta untuk mengumpulkan harta dan mensejahterakan keluarga semata sedangkan rakyat hanya menjadi obyek penderita.

Bertolak dari tahapan-tahapan kampanye juga debat kandidat yang sudah diikuti dan disaksikan masyarakat Keerom, masyarakat Keerom sebagai pemilik kedaulatan politik mestinya memastikan pasangan yang dipilihnya sungguh-sungguh berhati dan berjiwa pemimpin bukan penguasa. Tentu masyarakat dapat menilai, hal-hal positif dan konstruktif apa sajakah yang pernah dilakukan para calon selama memimpin Keerom. Masyarakat juga harusnya mengevaluasi secara kritis kelemahan manajerial apa saja yang tampak dalam pelayanan publik bagi masyarakat Keerom selama mereka menjadi pucuk pimpinan.

Selain itu, masyarakat juga mesti melakukan sebuah komparasi/perbandingan kritis atas gaya kepemimpinan dan aktualisasi hasil yang telah dikecapi masyarakat Keerom. Tentu perbandingan ini dilakukan dengan merujuk pada data dan fakta. Misalnya, antara calon yang pernah menjadi buapti Keerom dengan bupati sesudahnya. Sebaliknya membuat komparasi/perbandingan gaya, model, sifat kepemimpinan antara calon bupati yang pernah menjadi wakil bupati Keerom. Selanjutnya, hasil komparasi tersebut, dikonfrontasikan secara kritis, agar mendapatkan pemimpin yang benar-benar bermutu, berbobot, berkarakter, berbudaya bukan hanya sebatas mutu retorika tetapi lebih dari itu, mutu layanan publik yang sudah dirasakan masyarakat.

Pemimpin yang hendak dipilih tentu diharapkan seorang pemimpin pelayan. Pemimpin Keerom yang hendak dipilih pun mestinya memiliki visi misi yang menyentuh realitas dan konteks masyarakat lokal Keerom. Misalnya, konteks masyarakat Keerom adalah masyarakat agraris bukan pedagang atau nelayan. Di sini, masyarakat mesti menilai, colon bupati Keerom mana yang dalam masa-masa kampanye lebih banyak menyentuh konteks riil masyarakat seperti pertanian melalui upaya pembukaan lahan-lahan tidur untuk pengembangan pertanian. Atau calon bupati mana yang memiliki konsep pembangunan berwawasan swasembada pertanian. Karena selain petani tanaman holtikultura dan sayur-sayuran atau komoditas seperti pisang, umbi-umbian juga petani kelapa sawit yang saat ini didukung oleh manajemen tata kelola PTP yang semakin dirasakan masyarakat petani Keerom.

Sebagai daerah otonomi baru (DOB), Keerom kini telah berusia 18 tahun, semenjak diresmikan 25 Oktober 2002 silam. Dalam konteks manusia, Keerom sedang beranjak dari usia remaja menuju dewasa. Dalam tataran usia ini, Keerom mesti ditangani dengan manajemen kepemimpinan hati nurani agar pelayanan publik pemerintah, benar-benar menyentuh realitas masyarakat hingga ke kampung-kampung yang sangat terisolasi dari aspek infrastruktur kesehatan, pendidikan, jalan, air, dll.

Secara harfiah, Keerom berarti kembali pulang ke rumah (id.m.wikipedia.org/wiki/Kabupaten_Keerom#). Pembentukan Badan Koordinasi Pemerintahan (Bakorpem) Wilayah Keerom menjadi Kabupaten definitif, berkonsekuensi pada pemanggilan pulang putra asli daerah untuk membangun Keerom, entah sebagai pelaku birokrasi maupun secara politis sebagai kepala daerah. Tentu kehadiran masyarakat yang bukan anak adat Keerom, diharapkan membantu dalam pengembangan kompetensi dan perluasan wawasan masyarakat asli. Selain itu, membantu mengembangkan keterampilan serta manajemen tata kelola pemerintahan di setiap organisasi perangkat daerah (OPD), bukannya mengambil alih semua peran strategis. Apabila yang terjadi adalah pengambilalian peran, maka masyarakat adat Keerom akan terpinggirkan karena nihil pemberdayaan dan kehilangan hak mengemban tugas birokrasi.

Pemimpin yang akan dipilih nanti mesti memiliki konsep pengembangan manajerial melalui studi kelayakan dan kompetensi calon pemimpin di setiap SKPD dan mendorong studi lanjut bagi para birokrat yang dianggap mampu yang nota bene putera daerah, anak adat Keerom. Pemimpin yang dipilih nanti mesti memiliki wawasan pengkaderan.

Terpenting dari semuanya adalah peran anak adat Keerom. Anak adat Keerom mesti memegang kendali kepemimpinan. Hak kesulungan mesti dipegang oleh anak adat Keerom sendiri. Anak adat Keerom bukan sekedar nama, suplemen atau pelengkap penderita. Lebih dari itu, ia mesti menjadi pemegang tampuk kepemimpinan agar sungguh menjawabi aspirasi dan kebutuhan masyarakat adat hingga sedetail mungkin.

Sementara itu, dari aspek pembangunan berkelanjutan dalam ranah iman keyakinan pun sangat mempengaruhi implementasi kebijakan-kebijakan oleh pimpinan daerah. Tentu Keerom merupakan salah satu wilayah yang berbasis kekristenan khususnya Katolik, maka untuk menjawabi kebutuhan dan aspirasi masyarakat lokal tentu pemegang tampuk pimpinan juga memiliki wawasan yang selaras dengan mayoritas masyarakat lokal.

Pada titik ini, saya tidak bermaksud mencederai nurani bening sesama saudara yang berkeyakinan lainnya karena ketiga pasangan calon merupakan pasangan yang plural. Akan tetapi, kita memang mesti tahu diri bahwa kita datang untuk membantu, mengembangkan bukan mengambil alih kepemimpinan.

Hak adat anak Keerom mesti ditempatkan satu digit atau satu tingkat di atas kepentingan-kepentingan politis lainnya. Anak Keerom tidak bisa dijadikan sekedar pelengkap apalagi hanya untuk mengadu domba dan merebut mayoritas suara anak adat Keerom. Maka, tidak bermaksud membangkitkan sovinisme keagamaan, saya hanya mau menghimbau dan memberikan pencerahan agar masyarakat Keerom mesti menjaga jati dirinya sebagai pemilik kedaulatan di tanah Keerom. Keerom bermartabat dan berbudaya hanya bisa dibangun oleh anak adat Keerom sendiri. Selain dari itu, anak adat Keerom hanya bisa menjadi penonton di tanah adatnya sendiri.

Mari, kita jaga agar Pilkada Keerom berlangsung damai. Tidak boleh memberi ruang agar di adu-domba oleh politik kepentingan. Khususnya antara anak adat yang ikut dalam kontestasi Pilkada Keerom. Ingat bahwa pilkada hanya berlangsung sekali dalam lima tahun. Kepemimpinam pun berlangsung hanya dalam kurun waktu lima tahun. Syukur-syukur jika dapat dipilih oleh masyarakat. Oleh karena itu, betapa menyedihkan bahkan sangat disayangkan jika hubungan kekerabatan, pertalian darah dan persaudaraan sebagai anak adat Keerom dinodai, dirusak oleh oknum-oknum yang hanya mengejar kekuasaan dan setelah itu membiarkan anak adat sendiri hidup dalam suasana saling dendam, bermusuhan dan konflik tanpa ujung.

Selamat Memilih Bupati dan Wakil Bupati Keerom periode 2020-2025. (N)

( Tamne Yisan Kefase).

 

Keerom, 7 Desember 2020

Penulis:

Albertus Muda, S.Ag

Mantan Guru SDI Kwimi Filial Sawanawa-Kecamatan Arso, Kabupaten Keerom.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *