Papua.utusanindo.com,-Seminari Norman Sheila Draper Papua mewisuda 30 lulusan pertamanya di Kota Jayapura, Papua, Rabu (7/4/2021).
Selaku Ketua Seminari Norman Sheila Draper Papua, Presiden Persekutuan Gereja-gereja Baptis West Papua Pdt Dr Socratez Sofyan Yoman MA mengharapkan para lulusan seminari itu untuk tidak berbangga karena gelar sarjananya, namun harus terus belajar, banyak membaca dan menulis, serta menjadi orang yang berisi.
Lulusan pertama Seminari Norman Sheila Draper itu terdiri dari 12 sarjana Strata 1 Teologi, sembilan orang sarjana Strata 1 Pendidikan Agama Kristen, dan 10 orang lulusan Pendidikan Strata 2. Mereka di wisuda di halaman Seminari Itahwaku Purom, Padang Bulan, Kota Jayapura.
Pdt Socratez S Yoman menyatakan Seminari Norman Sheila Draper Papua mewisuda 30 lulusan pertamanya di Kota Jayapura, Papua, Rabu (7/4/2021). Selaku Ketua Seminari Norman Sheila Draper Papua, Presiden Persekutuan Gereja-gereja Baptis West Papua Pdt Dr Socratez Sofyan Yoman MA mengharapkan para lulusan seminari itu untuk tidak berbangga karena gelar sarjananya, namun harus terus belajar, banyak membaca dan menulis, serta menjadi orang yang berisi.
Lulusan pertama Seminari Norman Sheila Draper itu terdiri dari 12 sarjana Strata 1 Teologi, sembilan orang sarjana Strata 1 Pendidikan Agama Kristen, dan 10 orang lulusan Pendidikan Strata 2. Mereka di wisuda di halaman Seminari Itahwaku Purom, Padang Bulan, Kota Jayapura.
Pdt Socratez S Yoman menyatakan pendidikan yang telah ditempuh para wisudawan itu adalah pendidikan yang sesuai dengan kebutuhan Tanah Papua. Menurutnya, Seminari Norman Sheila Draper hadir untuk menjawab apa yang menjadi kekurangan di Tanah Papua. Ia menyatakan para wisudawan harus membantu menjawab berbagai kesulitan di setiap persoalan, baik persoalan rohani, pendidikan, uang, dan lainnya.
“Bertolak dari prinsip Gereja-gereja Baptis Papua, itu kami punya prinsip otonom, ada pemisahan antara gereja dan negara. Saya sebagai anak Melanesia, suku Lani, saya berangkat dari kemandirian orang tua dulu. Walau pendidikan saya cukup baik, tapi saya kembali kepada nilai leluhur dan peradaban orang tua kami dulu. Orang tua kami dulu, walau tidak dijajah oleh Indonesia, sudah punya kemandirian, punya budaya, sejarah, kedaulatan, kemandirian, dan tidak pernah diatur oleh orang lain. Saya mendirikan Seminari Norman Sheila Draper [sebagai] sekolah yang otonom,” kata Yoman kepada jurnalis, Rabu.
Yoman mengingatkan para wisudawan bahwa wisuda itu bukan tujuan akhir mereka, dan berharap para wisudawan itu dapat menjadi contoh yang baik bagi orang lain. “Harus baca firman Tuhan, baca buku, dan belajar banyak agar jiwa ini tidak kosong. [Wisudawan kami harus] seperti air mineral yan penuh dalam kemasan botol dan tidak kosong. Jangan pernah bangga dengan gelar yang hari ini diterima. Banggalah jika kalian terisi penuh, seperti botol, dan tulis banyak seperti Yohanes,” jelasnya.
Yoman mengingatkan para sarjana untuk rajin menulis tentang sejarah mereka, biografi mereka, dan dari mana mereka berasal. “Saya baca dari tulisan mereka, dan tahu siapa mereka ini. Walau ada yang satu kampung dengan saya. Jadi Seminari Norman Sheila Draper [tempat] pengembangan intelektual dan iman. Di sini mereka tidak cari ijazah. Kalau ijazah, [cari] di tempat lain. Kalau mau cari ilmu, datang ke sini. Orang rendah hati, bicara benar, tapi tidak kompromi. Mari datang, kalau tipu-tipu jangan,” kata Yoman.
Yoman menegaskan Seminari Norman Sheila Draper tidak akan mengikuti pembatasan aturan apapun, karena Persekutuan Gereja-gereja Baptis West Papua itu otonom dan berdiri sendiri karena dukungan finansial dari jemaatnya.
“Kami tidak perlu akreditasi. Saya tidak akan pernah ikut aturan apapun yang menindas. Undang-undang apapun saya tidak akan tunduk. Saya akan tunduk kepada kedaulatan saya sendiri. Orang-orang tua saya tahu, mereka dulu cerdas, cuma tidak belajar [di lembaga pendidikan formal]. Jadi tidak ada orang yang atur. Bukan berarti kami mengisolasikan diri. Kami akan bersaudara dengan siapa saja, baik global, nasional, dan internasional. Negara tidak boleh atur kami untuk ikut nasionalisme sejarah Pancasila, jadi tidak boleh menganggu kami,” tegas Yoman.
Yoman menyatakan ada banyak stigma yang dilabelkan kepada orang Papua, yang membuat orang Papua disiksa dan dibunuh di atas tanahnya, Papua. Ia menyatakan jika aparat keamanan terus terlibat kasus pembunuhan warga sipil di Papua, hal itu menyerupai tindakan teroris. “Rasis itu yang mesti kita lawan. Kita bukan teroris, [teroris itu] mereka yang membakar dan membom gereja,” kata Yoman.
Salah satu wisudawan, Nilas Kogoya menyampaikan ucapan terima kasihnya kepada seluruh umat Gereja Baptis. “Mama, bapa, terima kasih untuk dukungan doa dan dana kalian yang telah mendukung kami, sehingga hari ini kami bisa ada. Ilmu itu tidak hanya hadir di gedung-gedung mewah [dengan] fasilitas mewah dan tempat keramaian. Ilmu yang sama ada di sini,” ucap Kogoya.
Kogoya menyatakan, untuk bisa menyalakan lilin lain, seseorang harus terlebih dahulu menyalakan lilinnya sendiri. Setiap lilin yang telah menyala kini harus menyalakan lilin-lilin lain yang belum menyala.
“Di dalam internal Persekutuan Gereja-gereja Baptis West Papua, dan juga dari luar, para dosen mengorbankan diri dan segala yang mereka punya untuk membina kami di tanah yang kelihatan gersang. Seorang guru yang baik akan mengajar dengan hati, kunci kesuksesan adalah pendidikan,” ucap Kogoya.(AW)